Pemikiran Kalam Aliran Ahmadiyah

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Latar Sejarah Ahmadiyah

Ahmadiyyah (Urdu: أحمديّة) atau sering pula disebut Ahmadiyah, adalah jama’ah muslim yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di desa kecil bernama Qadian, Punjab, India. Ia mengaku sebagai Mujaddid, Al-Masih dan Al-Mahdi[1].

Nama Ahmadiyah, tampaknya bukan diambil dari nama pendiri aliran ini akan tetapi menurut Mirza nama tersebut diambil dari salah satu nama-nama Rasulullah. Nama tersebut diambil dari surah as-Saf : 6 yang artinya:

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)”. Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “ini adalah sihir yang nyata”.

 Anehnya, Mirza sendiri kemudian mengklaim bahwa dirinya adalah nama yang dimaksud tersebut yang diutus oleh Tuhan. Lahirnya aliran Ahmadiyah merupakan serentetan peristiwa sejarah dalam Islam, yang kemunculannya tidak terlepas dari situasi dan kondisi umat Muslim sendiri pada saat itu. Sejak kekalahan Turki Usmani dalam serangannya ke benteng Wina tahun 1683, pihak barat mulai bangkit menyerang kerajaan tersebut dan serangan itu lebih efektif lagi di abad ke-18. Bangsa Eropa secara agresif menjarah daerah-daerah Islam di satu pihak, hingga akhirnya Inggris dapat merampas India dan Mesir.

Sesudah India menjadi koloni Inggris, keadaan kaum Muslim India semakin memburuk, berbeda dengan umat hindu yang lebih bersikap kooperatif sehingga dapat diajak bekerja sama dengan pemerintahan Inggris. Karena sikap nonkooperatif umat Muslim India saat itu, sehingga semakin memojokkan posisi mereka dan membawanya ke dalam keterasingan di negeri sendiri. Situasi umat Muslim India saat itu tidak jauh berbeda dengan keadaan umat Muslim Indonesia di zaman pemerintahan kolonial Belanda.

Disini Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku telah diangkat sebagai al-Mahdi dan al-Masih oleh Tuhan, merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk memajukan Islam dan umat Muslim dengan memberi interpretasi baru terhadap ayat-ayat al-qur’an sesuai tuntutan zamannya, sebagaimana yang diilhamkan Tuhan kepadanya. Motif Mirza ini tampaknya didorong oleh gencarnya serangan kaum misionaris Kristen dan propaganda kaum Hindu terhadap umat Muslim saat itu.

Ahmadiyah lahir menjelang akhir abad ke-19 di tengah huru-hara runtuhnya masyarakat Islam lama dan infiltrasi budaya dengan sikapnya yang baru, serangan gencar kaum misionaris Kristen (terhadap Islam) dan berdirinya Universitas Aligarh yang baru, maka lahirnya Ahmadiyah adalah sebagai protes terhadap keberhasilan kaum misionaris Kristen memperoleh pengikut-pengikut baru. Juga sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa oleh Sayyid Ahmad Khan dengan Aligarhnya. Disamping itu lahirnya Ahmadiyah juga sebagai protes atas kemerosotan Islam pada umumnya[2]. Sayangnya pembaharuan al-Mahdi Ahmadiyah ini menyentuh keyakinan umat Muslim yang sangat sensitif, yaitu masih adanya nabi dan wahyu yang diturunkan Tuhan sesudah al-Qur’an dan sesudah kerasulan Nabi Muhammad.

 B. Tokoh Ahmadiyah

Gerakan Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Lahir pada 15 Februari 1835M di Qadian. Mirza Ghulam Ahmad adalah putera Mirza Ghulam Murtadha. Leluhurnya telah bermigrasi di tahun 1530 dari Samarkand ke India, sewaktu pemerintahan Mughal Raja Babur dan menetap di distrik Gurdaspur, Punjab, India. Di sini mereka mendirikan kota yang sekarang disebut Qadian, yang aslinya bernama ‘Islam Pur Qadi’. Nama ini diperpendek sebagai Qadi, kemudian sebagai Kadi, dan akhirnya menjadi Qadian. Keluarganya termasuk kaum Mughal, keturunan Barlas. Keluarga Mirza Ghulam Ahmad sebenarnya keturunan orang Persia, oleh karena itu Ghulam Ahmad dan keluarganya disebut Mirza, dan atas dasar ini pula Ghulam Ahmad dikenal orang dengan nama Mirza Ghulam Ahmad[3].

Tampaknya keluarga Mirza ini pernah menjadi pembantu setia pemerintah kolonial Inggris di India. Jauh sebelum itu, keluarga tersebut sudah menjalin kerja sama yang erat dengan pimpinan kaum Sikh, Ranjat Singh. Dengan demikian tidak pelak lagi jika aliran Ahmadiyah bersikap kooperatif dengan pemerintah Inggris. Tentunya sikap kooperatif tersebut, berbeda dengan sikap kooperatif yang dijalankan oleh Sayyid Ahmad Khan. Apabila Ahmad Khan menginginkan agar Umat Muslim bisa memperoleh kemajuan dan kesuksesan sebagaimana yang dicapai oleh bangsa Eropa, dengan mendirikan Universitas Aligarh, maka Mirza Ghulam Ahmad dengan Ahmadiyahnya ingin mendapat perlindungan secara politis, sehingga bebas dan dapat mempertahankan aliran yang didirikannya.

Pada masa remaja, Mirza Ghulam Ahmad atas perintah ayahnya, telah disibukkan dengan urusan tanah pertanian, suatu hal yang tidak disukainya. Untuk memenuhi kehendak ayahnya pula, Mirza Ghulam Ahmad menjadi pegawai pemerintah di Sialkot, dan bertempat tinggal di sana dari tahun 1864 sampai 1868. Selama bertempat tinggal di Sialkot Mirza Ghulam Ahmad banyak terlibat dalam perdebatan dengan para misionaris Kristen. Setelah itu Mirza Ghulam Ahmad meninggalkan pekerjaannya dan kembali ke Qadian serta mulai mengawasi lahan tanah pertanian miliknya. Di samping pekerjaannya sehari-hari, pada periode ini ia mengisi waktunya untuk merenungkan Al-Qur’an serta mempelajari tafsir dan hadits[4].

Tahun 1878 Mirza Ghulam Ahmad membuat tulisan-tulisan sanggahan cemerlang di surat kabar-surat kabar atas serangan-serangan pemikiran yang dilakukan oleh Swami Daynanda Sarasvat, anggota kelompok hindu Bombay dengan nama Arya Samaj yang didirikan oleh Ram Mohan Roy di Calcutta pada tahun 1828[5].

Pada tahun 1880, Mirza Ghulam Ahmad menulis bukunya yang pertama dengan judul Burahini Ahmadiyah.  Buku ini menjelaskan dengan cemerlang berdasarkan argumen yang kuat terhadap serangan kaum Arya Samaj, Brahmo Samaj, Kristen, maupun kepercayan lain yang menyerang Islam[6].

Bagi kaum Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad adalah realitas Isa al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan kemunculannya di akhir zaman. Keyakinan ini mereka jadikan sebagai prinsip akidah dan sekaligus merupakan ciri khas teologi aliran tersebut. Untuk menopang kebenaran keyakinan itu, mereka menggunakan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan tanda-tanda hari kiamat, dan mereka tafsirkan sesuai dengan paham mereka. Demikian pula dengan hadis-hadis Nabi, terutama hadis-hadis yang berhubungan dengan turunnya Isa al-Masih dan hadis-hadis Mahdiyyah yang relevan dengan prinsip keyakinan mereka, yang mereka tafsirkan dan sesuai dengan peristiwa peristiwa alamiah. Selain itu, untuk memperkuat signifikansi keyakinan tersebut, mereka juga menggunakan ramalan-ramalan yang mereka sebut sebagai ramalan orang suci atau wali.

Sebagai contoh yang cukup menarik dikemukakan ialah bahwa diantara tanda-tanda kehadiran al-Mahdi adalah terjadinya dua gerhana di bulan ramadhan dan belum pernah terjadi sejak penciptaan langit dan bumi. Pertama gerhana bulan di malam permulaan bulan Ramadhan, dan kedua, gerhana matahari di pertengahan bulan tersebut. Menurut kaum Ahmadiyah, dua peristiwa alamiah yang dinyatakan dalam hadis riwayat al-Daraqutni, benar-benar telah terjadi di daerah Punjab, India,dimana Mirza Ghulam Ahmad dilahirkan. Kejadian gerhana yang aneh ini, menurut pendapat mereka, terjadi pada hari kamis 13 Ramadhan 1311 H/  22 Maret 1894 M, sedangkan gerhana matahari terjadi pada hari jum’at 28 Ramadhan 1311H/ 6 April 1894 M. Dua peristiwa ini merupakan tanda-tanda alamiah tentang kebenaran pengakuan Mirza sebagai al-Mahdi dan al-Masih.[7]

 C. Doktrin-Dokrin Ahmadiyah

  1. Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya Nabi dan Rasul utusan Tuhan. Dia mengaku dirinya menerima wahyu yang turunnya di India, kemudian wahyu-wahyu itu dikumpulkan seluruhnya, sehingga merupakan sebuah kitab suci dan mereka beri nama kitab suci Tadzkirah. Tadzkirah itu lebih besar dari pada kitab suci Al-Qur’an.
  2. Mereka meyakini bahwa kitab suci Tadzkirah sama sucinya dengan kitab suci Al-Qur’an karena sama-sama wahyu dari Tuhan.
  3. Wahyu tetap turun sampai hari kiamat begitu juga Nabi dan Rasul tetap diutus sampai hari kiamat juga.
  4. Mereka mempunyai tempat suci tersendiri yaitu Qadian dan Rabwah.
  5. Mereka mempunyai surga sendiri yang letaknya di Qadian dan Rabwah dan sertivikat kavling surga tersebut dijual kepada jamaahnya dengan harga yang sangat mahal.
  6. Wanita Ahmadiyah haram nikah dengan laki-laki yang bukan Ahmadiyah, tetapi lelaki Ahmadiyah boleh kawin dengan perempuan yang bukan Ahmadiyah.
  7. Tidak boleh bermakmum dengan (di belakang) imam yang bukan Ahmadiyah.
  8. Ahmadiyah mempunyai tanggal, bulan, dan tahun sendiri yaitu nama bulan:1. Suluh 2. Tabligh 3. Aman 4. Syahadah 5. Hijrah 6. Ikhsan. 7. 8. Zuhur 9. Tabuk 10. Ikha 11. Nubuwah 12. Fatah. Sedang nama tahun mereka adalah Hijri Syamsyi (HS)[8]

 D. Sekte-Sekte Ahmadiyah

Setelah pendiri gerakan Ahmadiyah wafat pada tanggal 26 Mei 1908, pimpinan Ahmadiyah yang diistilahkan dengan ‘khalifah’ berpindah di tangan Maulawi Nuruddin sampai wafatnya tahun 1914. Bibit perpecahan di kalangan pengikutnya saat itu mulai tampak, yaitu munculnya dua pemikiran yang bertolak belakang tentang masalah khalifah (pengganti pimpinan) dan masalah pengkafiran terhadap sesama Muslim.

Karena konflik intern inilah maka secara riilnya di tahun 1914 terpecahlah aliran ini menjadi dua sekte[9] :

  1. Ahmadiyah Qadiani

Golongan ini mengakui akan kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan mereka yang tidak mengakui Mirza maka dianggap kafir. Sekte ini berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah Rasulullah SAW. Sekte ini dipimpin oleh Basyiruddin Mahmud Ahmad. Kelompok ini berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak hanya sebagai Mujaddid (pembaharu) saja, tetapi juga sebagai nabi dan rasul yang harus ditaati dan dipatuhi ajarannya.

Terpilihnya Basyiruddin Mahmud sebagai khalifah al-Mahdi yang kedua tampaknya tidak mendapat dukungan penuh dari seluruh Jemaat Ahmadiyah, di saat yang sama muncullah Ahmadiyah tandingan yang disponsori oleh Khawaja Kamaluddin dan Maulawi Muhammad ‘Ali yang tidak menyetujui prinsip golongan pertama, golongan kedua tersebut adalah;

  1. Ahmadiyah Lahore

Disebut pula dengan Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam. Golongan ini tidak terlalu menyimpang jauh seperti Qadiani tetapi heterodox artinya menyimpang dari Sunni, mereka beranggapan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah sebagai Mujaddid (pembaharu Islam). Dipimpin oleh Maulawi Muhammad Ali. Syafi R. Batuah sebagai pengikut sekte Qadiani berpendapat bahwa aliran tersebut muncul karena ambisi Maulawi Muhammad Ali sebagai khalifah tidak terwujud. Oleh sebab itu mereka memisahkan diri dan membentuk golongan baru yang berpusat di Lahore. Namun tampaknya yang menjadi sebab perpecahan itu adalah lebih berpusat dalam masalah akidah.

E. Perkembangan Ahmadiyah

Jemaat Muslim Ahmadiyah adalah satu organisasi keagamaan internasional yang telah tersebar ke lebih dari 185 negara di dunia. Pergerakan Jemaat Ahmadiyah dalam Islam adalah suatu organisasi keagamaan dengan ruang lingkup internasional yang memiliki cabang di 174 negara tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia, dan Eropa. Saat ini jumlah keanggotaannya di seluruh dunia lebih dari 150 juta orang. Jemaat Ahmadiyah Internasional juga telah menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa besar di dunia. Sedangkan jemaat Ahmadiyah di Indonesia telah menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia, Belanda, Sunda, dan Jawa. Sejarah penyebaran Ahmadiyah di Indonesia terbagi menjadi:

  1. Ahmadiyah Qadiani

Tiga pemuda dari Sumatera Tawalib, yakni suatu pesantren di Sumatera Barat, meninggalkan negerinya untuk menuntut Ilmu. Mereka adalah Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan. Awalnya mereka akan berangkat ke Mesir karena saat itu Kairo terkenal sebagai Pusat Studi Islam. Namun Guru mereka menyarankan agar pergi ke India karena negara tersebut mulai menjadi pusat pemikiran Modernisasi Islam. Sampailah ketiga pemuda Indonesia itu di Kota Lahore dan bertemu dengan Anjuman Isy’ari Islam atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore. Setelah beberapa waktu di sana, merekapun ingin melihat sumber dan pusat Ahmadiyah yang ada di desa Qadian dan setelah mendapatkan penjelasan dan keterangan, akhirnya mereka Bai’at di tangan Hadhrat Khalifatul Masih II ra, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra.

Kemudian tiga pemuda itu memutuskan untuk belajar di Madrasah Ahmadiyah yang kini disebut Jami’ah Ahmadiyah. Merasa puas dengan pengajaran di sana, Mereka mengundang rekan-rekan pelajar di Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian duapuluh tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga pemuda Indonesia yang terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah. Dua tahun setelah peristiwa itu, para pelajar Indonesia menginginkan agar Hadhrat Khalifatul Masih II ra berkunjung ke Indonesia. Hal ini disampaikan Haji Mahmud, juru bicara para pelajar Indonesia dalam Bahasa Arab. Respon positif terlontar dari Hadhrat Khalifatul Masih II ra. Ia meyakinkan bahwa meskipun beliau sendiri tidak dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil beliau ke Indonesia. Kemudian Maulana Rahmat Ali HAOT yang datang dari Qadian, India, dikirim sebagai muballigh ke Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1925, Maulana Rahmat Ali HAOT dilepas Hadhrat Khalifatul Masih II ra berangkat dari Qadian. Tepatnya tanggal 2 Oktober 1925 sampailah Maulana Rahmat Ali HAOT di Tapaktuan, Aceh. Kemudian berangkat menuju Padang, Sumatera Barat. Banyak kaum intelek dan orang orang biasa menggabungkan diri dengan Ahmadiyah.

Pada tahun 1926, disana, Jemaat Ahmadiyah mulai resmi berdiri sebagai organisasi. Tak beberapa lama, Maulana Rahmat Ali HAOT berangkat ke Jakarta, ibukota Indonesia. Perkembangan Ahmadiyah tumbuh semakin cepat, hingga dibentuklah Pengurus Besar (PB) Jemaat Ahmadiyah dengan R. Muhyiddin sebagai Ketua pertamanya. Terjadilah Proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Di dalam meraih kemerdekaan itu tidak sedikit para Ahmadi Indonesia yang ikut berjuang dan meraih kemerdekaan. Misalnya R. Muhyiddin. Beliau dibunuh oleh tentara Belanda pada tahun 1946 karena beliau merupakan salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia. Juga ada beberapa Ahmadi yang bertugas sebagai prajurit di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan mengorbankan diri mereka untuk negara. Sementara para Ahmadi yang lain berperan di bidang masing-masing untuk kemerdekaan Indonesia, seperti Abdul Wahid dan Ahmad Nuruddin berjuang sebagai penyiar radio, menyampaikan pesan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Sementara itu, muballigh yang lain Sayyid Syah Muhammad merupakan salah satu tokoh penting, sehingga Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, di kemudian hari menganugerahkan gelar veteran kepada beliau untuk dedikasi beliau kepada negara.

Di tahun lima puluhan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia mendapatkan legalitas menjadi satu organisasi keormasan di Indonesia. Yakni dengan dikeluarkannya Badan Hukum oleh Menteri Kehakiman RI No. JA. 5/23/13 tertanggal 13-3-1953. Ahmadiyah tidak pernah berpolitik, meskipun ketegangan politik di Indonesia pada tahun 1960-an sangat tinggi. Pergulatan politik ujung-ujungnya membawa kejatuhan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, juga memakan banyak korban. Satu lambang era baru di Indonesia pada masa itu adalah gugurnya mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, yang tidak lain melainkan seorang khadim Ahmadiyah. Dia terbunuh di tengah ketegangan politik masa itu dan menjadi simbol bagi era baru pada masa itu. Oleh karena itu iapun diberikan penghargaan sebagai salah satu Pahlawan Ampera.

Di awal era 70-an, melalui Rabithah Alam al-Islami semakin menjadi-jadi, para ulama Indonesia mengikuti langkah mereka. Maka ketika Rabithah Alam al-Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai non muslim pada tahun 1974, hingga MUI memberikan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah. Sebagai akibatnya, banyak masjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa yang dipimpin oleh ulama. Selain itu, banyak Ahmadi yang menderita serangan secara fisik. Periode 90-an menjadi periode pesat perkembangan Ahmadiyah di Indonesia bersamaan dengan diluncurkannya Moslem Television Ahmadiyya (MTA). Ketika Pengungsi Timor Timur yang membanjiri wilayah Indonesia setelah jajak pendapat dan menyatakan bahwa Timor Timur ingin lepas dari Indonesia, hal ini memberikan kesempatan kepada Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia untuk mengirimkan tim Khidmat Khalq untuk berkhidmat secara terbuka. Ketika Tahun 2000, tibalah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ke Indonesia datang dari London menuju Indonesia. Ketika itu beliau sempat bertemu dan mendapat sambuatan baik dari Presiden Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid dan Ketua MPR Amin Rais[10].

  1. Ahmadiyah Lahore

Tahun 1924 dua pendakwah Ahmadiyah Lahore Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad, datang ke Yogyakarta. Minhadjurrahman Djojosoegito, seorang sekretaris di organisasi Muhammadiyah, mengundang Mirza dan Maulana untuk berpidato dalam Muktamar ke-13 Muhammadiyah.

Pada tahun 1926, Haji Rasul mendebat Mirza Wali Ahmad Baig, dan selanjutnya pengajaran paham Ahmadiyah dalam lingkup Muhammadiyah dilarang. Pada Muktamar Muhammadiyah 18 di Solo tahun 1929, dikeluarkanlah pernyataan bahwa “orang yang percaya akan Nabi sesudah Muhammad adalah kafir“. Djojosoegito yang diberhentikan dari Muhammadiyah, lalu membentuk dan menjadi ketua pertama dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang resmi berdiri 4 April 1930[11].

Perkembangan selanjutnya Ahmadiyah di Indonesia terbagi menjadi dua bagian,yaitu[12]:

  1. Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) berdiri tahun 1925, berpusat di parung-Bogor  sebagai gerakan dari Ahmadiyah Qodiani.
  2. Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) berdiri tahun 1928, berpusat di kota Yogyakarta sebagai gerakan dari Ahmadiyah Lahore.

Ahmadiyah kini sudah mempunyai sekitar 200 cabang terutama Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Palembang, Bengkulu, Bali, NTB dan lain-lain[13].

  1. Sikap Negara-Negara Islam dan Organisasi Islam Internasional terhadap Ahmadiyah
  2. Malaysia telah melarang ajaran Ahmadiyah di seluruh Malasysia sejak tanggal 18 juni 1975.
  3. Brunei Darussalam juga telah melarang ajaran Ahmadiyah diseluruh Negara Brunei Darussalam.
  4. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi telah mengeluarkan keputusan bahwa Ahmadiyah adalah kafir dan tidak boleh pergi haji ke makkah.
  5. Pemerintah Pakistan telah mengeluarkan keputusan bahwa Ahmadiyah golongan minoritas non muslim.
  6. Rabithah ‘Alam Islamy yang berkedudukan di makkah telah mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah kafir dan keluar dari Islam.

DAFTAR PUSTAKA

  • Muhammad, Sir Iqbal. 1991. Islam dan Ahmadiyah. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Cantwell, Wilfred Smith. 1979. Modern Islam In India. New Delhi: Usha Publication.
  • Muhammad, Maulana Ali. 2002. Gerakan Ahmadiyah. Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah.
  • Abul, Sayid Hasan Ali Nadwi. 2005. Tikaman Ahmadiyah Terhadap Islam. Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah.
  • Fathoni, Muslih. 1994. Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
  • Ali, S Yasir. 1978. Gerakan Pembaharuan Dalam Islam Vol 1. Yogyakarta: PP. Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia.
  • Ahmad, Saleh Nahdi. 1979. Ahmadiyah Selayang Pandang. Yogyakarta: Rapem.
  • Ahmad, Hartono Jaiz. 2007. Aliran dan Paham Sesat di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
  • Lihat: http://www.alislam.org/indonesia/75thJAI.html. Diakses pada: 29/10/2014, pukul 1:21 wib
  • Lihat: http://ahmadiyah.org/gerakan-ahmadiyah-indonesia/. Diakses pada: 29/10/2014, pukul 1:18 wib

.

[1] Sir Muhammad Iqbal, Islam dan Ahmadiyah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal vii

[2] Wilfred Cantwell Smith, Modern Islam in India, (New Delhi: Usha Publication, 1979), hal. 368

[3] Maulana Muhammad Ali, Gerakan Ahmadiyah, (Jakata: Darul Kutubil Islamiyah, 2002), hal. 1.

[4] Sayid Abul Hasan Ali Nadwi, Tikaman Ahmadiyah terhadap Islam, (Jakarta: Fadlindo Media Utama, 2005), hal. 12

[5] Maulana Muhammad Ali, Gerakan Ahmadiyah, (Jakata: Darul Kutubil Islamiyah, 2002), hal. 2

[6] Muslih Fathoni, Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hal 60.

[7] S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan dalam Islam, vol. I, (yogyakarta: PP. Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia,1978), hlm. 71-2; Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah Selayang Pandang, (Yogya: Rapem, 1979), hlm. 25.

[8] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hal. 57

[9] Muslih Fathoni, Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hal 67

[10] Lihat: http://www.alislam.org/indonesia/75thJAI.html. Diakses pada: 29/10/2014, pukul 1:21 wib

[11] Lihat: http://ahmadiyah.org/gerakan-ahmadiyah-indonesia/. Diakses pada: 29/10/2014, pukul 1:18 wib

[12] Sahilun,A.Nasir., Pemikiran Kalam (Teologi Islam) , Edisi  pertama,Bulan September 2010, hlm. 328-332.

[13] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hal. 56

Tinggalkan komentar